7 Paradoks Kehidupan

7 Paradoks Kehidupan

Suatu ketika seorang teman saya berujar bahwa ia sedang berusaha berhenti merokok. Yang aneh adalah dia berusaha berhenti merokok dengan cara merokok. Lha kok bisa? Begini penjelasannya. Menurut teman saya tersebut, dia merokok mengikut pola seperti misalnya dia merokok pada jam tertentu, setelah aktivitas tertentu (misalnya setelah makan), di tempat tertentu (misalnya teras rumah), dan dengan merek rokok tertentu. Semua itu membentuk suatu persepsi di dalam otaknya bahwa merokok merupakan sesuatu yang menyenangkan. Nah, untuk membongkar persepsi tersebut, teman saya itu mengacak pola yang sudah lama terbentuk. Ia mengacak waktu merokok, kadang sebelum makan, kadang setelah makan, kadang di selasela makan. Ia mengganti-ganti merek rokok yang dia konsumsi tanpa mengikuti suatu pola tertentu agar tidak terbentuk pola baru yang nanti sulit dibongkar.

Apa yang dilakukan teman saya tersebut sungguh merupakan sebuah paradox. Ia berusaha berhenti merokok dengan cara merokok. Sungguh sebuah kalimat yang membingungkan bagi banyak orang, kecuali kita sudah paham apa yang dijelaskan oleh teman saya tersebut. Hidup ini memang penuh dengan paradoks. Paradoks merupakan pernyataan yang menjelaskan situasi yang kontradiktif sehingga menafikan logika awal yang dibangun di awal pernyataan itu sendiri. Kendati demikian, paradoks seringkali membuat sebuah kalimat menjadi lebih menarik, lebih hidup, dan lebih punya makna. Bahkan mungkin, bagi sebagaian orang, mereka sebenarnya hidup di dalam paradoks. Hanya saja mereka bisa menyadari paradoks tersebut atau bisa juga tidak menyadarinya sama sekali. Di antara banyaknya paradoks kehidupuan, pada kesempatan ini perkenankan saya untuk membagikan tujuh paradoks yang cukup menarik untuk disikapi.

1. Kesepian di tengah keramaian
Lonely in the crowd, begitulah ungkapan di dunia barat sana untuk menjelaskan paradoks yang satu ini. Mungkin Anda pernah merasakan situasi ini. Anda berada di tengah kerumunan banyak orang, bisa jadi dalam sebuah pesta bahkan, namun Anda tidak merasa larut dalam pesta itu. Sebaliknya, Anda bahkan merasa terasing. Orang-orang yang hadir di sana tidak bisa nyambung saat ngobrol dengan Anda. Anda rasanya ingin berada di tempat lain. Mungkin tidak dikerumuni orang banyak seperti itu, cukup ditemani oleh beberapa orang atau bahkan satu orang. Namun orang tersebut bisa mengisi kehampaan relung hati Anda.

2. Semakin cepat memacu semakin lambat mencapai
Paradoks yang satu ini sungguh tidak masuk diakal. Dalam hukum fisika, kita mempelajari bahwa semakin cepat sebuah kendaraan melaju semakin cepat kendaraan tersebut akan menyelesaikan jarak yang ditempuh. Namun hidup ini tidak selalu bisa dijelaskan dengan fenomena fisika bahkan dalam konteks berkendaraan sekalipun. Saya pribadi pernah mengalaminya. Semakin saya menginjak pedal gas, semakin jauh rasanya jarak yang harus ditempuh. Belum lagi bila ketergesa-gesaan kita ini justru menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan perjalanan kita semakin lambat. Anehnya, ketika kita mengemudi dengan kecepatan yang wajar dan perasaan yang tenang, seringkali tidak terasa kita sudah sampai ke tempat tujuan. Hal yang mirip juga sebenarnya berlaku dalam situasi yang bukan merupakan perjalanan. Saat kita memacu seluruh kecepatan kita seringkali banyak hal terlewatkan sehingga akhirnya kita harus mengulang kembali apa yang sedang kita kerjakan sehingga secara keseluruhan kita justru lebih lambat menyelesaikan tugas kita.

3. Semakin meningikan diri semakin direndahkan
Mungkin Anda pernah menyaksikan situasi seperti ini: seseorang dengan angkuhnya menunjukkan kemampuan, kekayaan atau kedudukannya. Sementara orang yang lainnya dianggap remeh atau dilecehkan. Namun tiba-tiba keadaan berbalik ketika orang yang semula diremehkan tersebut ternyata memiliki kemampuan, kekayaan atau kedudukan yang lebih tinggi daripada orang yang semula angkuh tersebut. Paradoks yang satu ini mengingatkan kita untuk tetap rendah hati karena dengan rendah hati, kita tidak memiliki tempat untuk jatuh atau kalaupun jatuh tidak terlalu sakit. Tapi bila kita meninggikan diri, maka kita akan merasa sakit bila jatuh. Anehnya, banyak orang berusaha untuk meninggikan diri mereka dengan berbagai cara. Padahal, dengan tidak perlu bersusah payah meninggikan diri, seseorang justru bisa dengan lebih efektif mendapatkan simpati dari orang-orang di sekitarnya.

4. Semakin bertambah semakin kekurangan
Kita sering berusaha untuk menambah apa yang kita miliki. Baik ilmu, harta atau jabatan. Lucunya, semakin kita menambah, semakin kita merasa kekurangan. Dalam hal ilmu pengetahuan, Anda mungkin sering mendengar orang berkata: “Semakin saya belajar semakin saya tidak tahu.” Tentu saja yang dimaksud orang tersebut bukan berarti apa yang dia pelajari tidak berguna atau malah mengurangi ilmu yang dimilikinya. Tapi yang dimaksud adalah semakin ia belajar semakin ia menyadari bahwa masih banyak hal yang belum ia pelajari. Dalam urusan harta situasinya tidak berbeda jauh. Semakin banyak seseorang memiliki harta kekayaan semakin ia menyadari masih banyak harta yang tidak ia miliki. Hal yang sama juga terjadi dengan jabatan. Semakin tinggi jabatan yang dimiliki seseorang semakin ia merasakan bahwa ada jabatan yang lebih tinggi. Bahkan bila ia sudah memiliki jabatan yang paling tinggi sekalipun maka dirinya akan merasa kekurangan waktu untuk menduduki jabatannya tersebut.

5. Semakin banyak menyingkirkan musuh semakin banyak musuh datang
Dalam film Gladiator, Kaisar Marcus Aurelius bertanya pada Jendral Maximus mengenai sampai kapan ia akan berperang. Maximus yang penuh dengan integritas dalam membela Roma menjawab bahwa ia akan terus berperang sampai tidak ada lagi musuh untuk dilawan. Kemudian Aurelius yang bijak menasehati Maximus bahwa akan selalu ada musuh untuk di lawan. Pepatah mengatakan satu orang musuh terlalu banyak seribu orang kawan terlalu sedikit. Namun dalam kenyataannya musuh akan selalu ada meskipun kita tidak pernah mengundang apalagi menciptakannya. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita bisa memposisikan musuh agar tidak berada dalam posisi yang menarik untuk menyerang kita. Bila hal tersebut bisa dilakukan, maka kita sudah cukup bisa mengatasi musuh kita. Namun, bila hal tersebut tidak bisa dilakukan, maka kita bisa saja terpancing untuk menyingkirkan musuh kita. Dalam situasi inilah kita akan terjebak dalam paradoks yang satu ini karena untuk menyingkirkan satu musuh, kita akan menciptakan musuh baru. Semakin banyak kita menyingkirkan musuh, semakin banyak pula musuh datang. Dan akibatnya, kita akan mengalami apa yang dikatakan oleh Aurelius, kita akan selalu memiliki musuh.

6. Semakin kuat semakin lemah
Paradoks yang satu ini mungkin sangat unik. Pada umumnya semua orang merasa kuat alam keadaan normal. Kita merasa mampu melakukan apa saja. Namun anehnya, saat kita merasa kuat, kita justru seringkali tidak bisa menyelesaikan banyak hal. Mengapa? Salah satunya karena kita terpancing untuk mengerjakan terlalu banyak hal sendirian. Bahkan kita lupa untuk memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Namun setelah kita merasa tidak berdaya, kita mulai meminta pertolongan orang lain dan memohon bantuan kepada Yang Maha Kuasa. Pada saat itulah biasanya kita justru lebih mampu untuk menyelesaikan lebih banyak hal. Apa yang selama ini tidak mampu kita kerjakan tiba-tiba bisa kita tuntaskan dalam waktu singkat.

7. Benci dan cinta
Paradoks yang ke-7 adalah kebingungan atau kerumitan antara benci dan cinta. Banyak orang takut mencintai karena mencintai akan menuntut orang yang dicintai untuk membalas cinta yang kita berikan. Sayangnya, dalam banyak kasus, timbal balik seperti itu tidak terjadi. Dalam situasi tersebut, cinta bisa berubah menjadi benci. Akhirnya, daripada menjadi benci, maka banyak orang memilih untuk tidak mencintai. Bagi Anda yang mengalami situasi ini, mungkin ada baiknya mengikuti kata-kata Mother Teresa:

“I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love.”
 

Berikan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *